Selasa, 14 Oktober 2014

Cerpen: JUBAH PUTIH DI BALIK CINTA




Bertubi-tubi tantangan yang datang menghampiri Randi semenjak ia dapanggil sang Khalik. Pergaulannya yang bebas di masyarakat luas, semenjak SMP ,membuat hatinya tertekan. Apa yang harus ia pilih: “Jubah putih atau Chatrin, sang kekasihya.
Detik demi detik, menit-menit demi menit hingga hari demi hari berlalu. Tak disadari sudah setengah tahun Randi telah mencoba menjawabi panggilan hidupnya di taman idaman SESADO Hokeng. Kini tiba saatnya liburan Natal. Bersama teman-temannya, Randi mengambil langkah ke pintu utama SESADO Hokeng. Langkah demi langkah diambil Randi. Tak sadar kini Randi telah selangkah melangkah menginjak tanah kelahirannya yang situasinya sudah berbeda di mana tanah biasanya subur kini mnjadi gersang.
Beberapa saat  setiba di gubuknya, Randi mencoba untuk melepaskan rasa lelah di atas tempat tidurnya. Tak lama kemudian, dari depan rumah terdengar bunyi ketukan pintu . “Hallo...”, dengan mata belalak Catrin memberi salam. Perasaannya di dalam pasti ada Randi pacar lamanya. “iyaaaa... dengan siapa?” balas Randi dari dalam kamarnya. Tidak seperti biasanya, repons yang Randi bisikan ketika si Catrin, pacarnya memanggil. Meskipun belum melihat muka siapa di depan rumahnya, perasaannya sudah lebih dulu mengenal suara itu. Itu pasti Cartrin, kata suara kecilnya sambil mengambil melangkah ke arah datangnya suara tadi.
Perasaan catrin tidak jauh bedanya juga dengan perasaan pacar lamanya itu. Dengan suara yang didengarnya dari dalam rumah itu, dalam hati ia berguman “itu pasti suara Randi”. Biarpun jarak dan waktu yang memisahkan mereka, tetapi perasaan mereka masih tetap bersama. Dengan segera, Catrin tanpa menunggu lama lagi, Catrin langsung membuka pintu yang tadinya tertutup setengah rapat.
“Randi...” teriaknya bak anak yang baru yang lama ditinggal ibunya, sebuah teriakan yang muncul dari kedalaman nubari karena takut aka kehilangan Randi. Begitu pintu terbuka dalam sekejap keduang tangaan halus Catrin ia langsung merangkul mesrah  kekasih lamanya itu.
“Oh Catrin...dari mana kamu tahu bahwa aku sudah datang?”  tanya Randi sambil mencoba melepaskan diri dari pelukan Catrin.
“Eh, silahkan masuk Trin”. Tambah Randi  dengan wajahnya yang luguh. Randi mengajak Catrin masuk. “Silahkan duduk!” sambungnya.
Melihat wajah Randi yang begitu luguh, tidak seperti masa-masa di SMP, Catrin menatap Randi penuh keheranan. “Randi yang sekarang tidak seperti Randi yang dulu lagi” demikian bisikan suara cinta dari hati Catrin tanpa suara. Kelihatannya Catrin sangat jatuh cinta dan takut akan kehilangan sang kekasihnya,Randi
“Rand....!”
“Iya, ini aku Trin, Randi! Pacar lamamu. Apa ada yang aneh dimuka saya?” tanya Randi penuh keheranan.
Mendengar ucapan Randi, Catrin tertunduk cemburu. Pikirnya Randi tidak menerimanya lagi. Tak terasa, butiran-butirn air mata mulai mengalir membasahi ronah wajah Catrin yang ayuh. Ia sedih dan takut akan kehilangan Randi, kekasihnya.
“Trin, kenapa kamu menangis? Kamu sakit?” tanya Randi sambil mengulurkan kedua tangannya menghapus air mata Catrin yang terus  mengalir bak anak sungai. Sebagai pacar lamanya, Randi begitu perhatian dengan Catrin. Sejak dulu ia tidak mau melihat Catrin disakiti apalagi sampai menangis.
“Apa kamu merasa sedih dengan ucapankutadi ? Atau....” tanya Randi terbata-bata, Ia tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan.
“Rand...mengapa kamu bilang kamu ini pacar lamaku?” ujar Catrin dengan sorot mata memandang Randi. Ditanya seperti itu Randi hanyaa terdiam membisu, tak tahu harus menjawab apa. Sikap Randi yang hanya terpaku membuat air mata Catrin semakin derasa mengalir di pipinya. “Aku ini pacarmu dan selamanya tetap menjadi milikmu Rand! Masih ingatkan,di hari ulang tahun ku yang ke 16 sebelum engkau pergi? Di lubuk hati yang terdalam aku masih menyimpan pesanmu padaku. Jangan pernah berhenti mencintaiku. Bagiku itu adalah kado terbaik buat ulang tahunku Rand!” ujar Catrin sekali lagi sambil memeluk erat tubuh Randi.
“Trin, bukan berarti aku akan melupakanmu! Jujur Tin,aku sangat mencintaimu. Hidup tanpa cinta itu memang benar-benar buta. Tapi cinta itu...” ujar Randi seolah kehilangan inspirasi untuk melanjutkan kata-katanya.
“Rand!” Tandasnya. “Jangan pernah katakan cinta itu tidak selamanya selalu dan tetap bersatu.” Lanjut Catrin.
Sejenak Randi tak bisa berkata lagi. Ia hanya diam sambil  mencoba untuk menahan air mata jatuh di pipinya. Meski berusaha memperlihatkan wajah tegar. Akhirnya Randi luluh juga, tetessan-tetesan cairan bening mulai membasahi wajah tampannya. Ia terjatuh sedih bersama Catrin. Kini Randi hanya mengharapkan agar air matanya dapat memnyampaikan isi hatinya. “Biarlah air mata ini yang menjawab semuanya ini.....” bisik Randi sambil menangis.
Hari semakin senja. Sang raja siang dengan perlahan bergerak ke ufuk barat di mana langit ronah kemeraha. Tak ada kata, tak ada suara, hanya tangisan yang terus terdengar dari dalam rumah Randi. Suasana semakin sedih. Randi dan Catrin hanya dapat menangis sambil berpelukan.
“Tapi cinta lebih berarti bila kita membuat orang lain bahagia” ujar Randi perlahan mencoba mengungkapkan isi hatnya.
“Kamu tahu kan? Aku sudah mencoba untuk melangkah untuk menjawab panggilan Tuhan. Dan aku tidak bisa lagi untuk kembali karena cintaNya telah mengikat aku.” Tambah Randi lagi mengungkapkan isi hatinya ketika tangisan Catrin mulai mereda di dalam pelukannya.
“Kamu akan sangat menyesal kelak,bila kamu tidak menikmati apa itu cinta yang sesungguhnya pada masa remaja Mu Ran, tapi sejujurnya aku akan selalu setia menantimu.” Kata Catrin dengan sedikit egonya.
“Trin, aku ngerti Trin! Memang aku sangat mencintaimu. Tapi kamu maukan melihatku bahagia?” tantang Randi yang lebih memilih menekuni panggilan hidupnya daripada Catrin, kekasihnya. “Oh Tuhan, semoga engkau meluruskan jalanku untuk selalu berjalan di sampingMu” Demikian batinnya berdoa. Randi tertunduk hening.
“Aku sangat bahagia, bila aku melihat engkau bahagia Rand...”. Akhirnya Catrin mengerti juga arti cinta yang sesungguhnya. “Cinta itu lebih berarti bahkan jauh lebih berarti bila aku merelakan engkau pergi bahagia bersamaNya...” ujar bibir tulus Catrin mengucapkan kata-kata ini, tetapi hatinya tidak semulus itu. Masih ada rasa cinta dihatinya. Catrin sekali lagi mau mencoba mendapatkan kekasih sejatinya, tetapi ia tahu bahwa itu membtuhkan perjuangan yang berat.
“Maafkan aku Trin, aku terima kritikanmu, jika bagimu aku sekarang menjadi kekasih yang ego. Memang dulu dan sampai detik ini aku selalu mencintaimu dari segalanya tapi semenjak aku melangkah menjalani panggilanku, persaanku ia telah memudarkan cinta kita. Rasanya aku lebih mencintai jubah putihku Trin. Maafkan aku, maafkan aku Trin. Aku tak bisa bersamamu untuk selamanya.”
“Rand,aku bingung sama kamu Rand! Aku heran! Kamu lebih mencinta jubah putihmu dari pada aku. Padahal itu hanya sehelai benang! Rand...” Sambung Catrin dengan tidak mengerti “JUBAH PUTIH” yang Randi maksudkan itu.
“Jubah putih itu memang hanya sehelai kain. Tetapi jubah putih yang kumaksudkan ialah YESUS. Dia yang selalu berada di sampingku. Dia yang telah membentuk aku dalam kandungan ibuku. Dia yang selalu menopang aku, ketika salib hidupku tak dapat aku pikul. Dia yang selalu menguatkanku ketika badai menerpaku. TanganNya selalu menopangku ketika bidukku tak berdaya. Dia selalu di sampingku ketik gelombang hidup menerjang.” Ujar Randi dengan lantang dengan nada penuh keyakinan.
“Pergilah dan kerjarlah cita-cita luhurmu Rand, jadikanlah aku karibmu, berjuanglah  sekuat tenaga untuk meraih cita-citamu Rand. Jika engkau bahagia, disaat itu aku pun selalu akan bahagia bersamamu. Aku berat untuk melepaskanmu Rand, tapi aku lebih ingin melihat engkau bahagia. Jadikanlah aku sahabat karibmu untuk mengejar jubah putihmu itu. Dia yang selalu bersamamu.” Balas Catrin yang nampaknya sudah bisa melupakanmu Randi.
“Terima kasih Trin, engkau mengerti perasaanku. Berikan aku kekuatan supaya kelak, kau dan aku selalu bahagia d idalam Dia yang ialah jubah putihku.” Ujar Randi perlahan sambil memeluk mantannya yang kini telah menjadi sahabtanya, pendukung, penyemangat dan pendoa meraih impian dan cita-cita.
Cinta itu tidak selamanya saling memiliki tetapi cinta itu harus membuat orang lain bahagia. Cinta itu tulus.
Kini pelukan Randi dan Catrin semakin erat. Mereka diam membisu diiringi tetesan air mata. Jadilah cinta kita sebagai pembawa kebahagiaan dalam aku kau dan “DIA”.

THE END



Oleh: Philipus Seng Tenhanawang
Kelas: X MIPA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar