Selasa, 30 September 2014

MENGENAL TUHAN



MENGENAL TUHAN #1
Seorang imam mudah yang baru saja ditahbiskan mendapatkan tugas untuk menjadi misionaris di sebuah stasi yang jauh di sebuah desa. Dengan persiapan yang matang berangkatlah ia ke tempat misi. Hari-hari pertama dia berada di sana sangat menyenangkan karena segala sesuatu berlangsung baik. Semangat serta gairahnya yang meluap-luap sebagai imam muda membuat umat yang dilayaninya sangat terkesan.
Setelah enam bulan berada di sana, seorang umat kemudian mendekatinya dan bertanya kepadanya, “Apakah anda mengenal Tuhan?”
Sebagai seorang imam muda yang masih dipenuhi dengan semangat untuk mengaplikasikan apa yang selama ini didapatkannya dari bangku kuliah, imam ini kemudian memamulai penjelasannya dengan ceramah teologi tentang Allah.
Orang tadi mendengarkan dengan tenang, kemudian berujar, “Saya tidak ingin tahu tentang Tuhan, tetapi ingin tahu apakah anda mengenal Tuhan?” Kemudian orang ini menambahkan, “Jika tidak...., maka tidak ada yang dapat saya pelajari dari anda!!!!”
Sadar atau tidak, seringkali pemahaman dan konsep kita tentang Allah labih banyak dipengaruhi atau datang dari ajaran (dogma) ritus, rubrik, hukum, aturan dan masih banyak lagi yang lainnya. Akibat terlalu mengikat dan kaku, seringkali apa yang menjadi ajaran dari dogma atau ritus tersebut tidak jarang kita terima sebagai kebenaran yang paling utuh. Parahnya lagi, karena terlalu berpegang teguh pada dogma atau ritus tersebut, kita malah menjadi pribadi yang fanatik. Akibatnya, kita tidak hanya menjadi pribadi yang kaku dan tidak terbuka untuk berdialog, melainkan juga menjadi pribadi yang siap menghalalkan segala cara untuk mempertahankan apa yang kita yakini sebagai kebenaran. Tidak peduli siapa yang dikorbankan, yang penting keyakinanku tetap bisa bertahan. Sayangnya, fanatisme-fanatisme buta seperti ini justru terjadi di negara kita tercinta, negeri yang mengaku sebagai negara yang berketuhanan. Banyak aturan dan hukum yang diciptakan berlandaskan paham sebagai negara yang berketuhanan, meski dalam realitas hidup, banyak terjadi praktek anarkis dan fantisme buta yang justru meruska paham negara tersebut.
Pertanyaan sang penanya kedengarannya memang kasar dan bisa jadi juga sangat menjengkelkan, tetapi itu adalah sebuah alarm pengingat yang sangat penting bahwa kita dipanggil tidak hanya untuk tahu tentang TEOLOGI, dogma, ritus, hukum, rubrik dan lain sebagainya, tetapi lebih penting lagi dan justru menjadi dasar dari semua hukum dan dogma serta ritus yang selama ini kita pelajari, kemudian kita yakini dan imani yakni mengenal YANG SATU yang adalah sumber dari teologi.
Kita terkadang seperti imam muda tadi, karena terlalu banyak berpikir untuk mencari konsep yang utuh tentang sang Pencipta kita justru menjadi orang pertama yang tidak mengenal Tuhan. Kita lupa bahwa Tuhan yang kita imani pertama datang bukan dari konsep-konsep atau dogma-dogma melainkan datang dari pengalaman. Untuk itu penting bagi kita untuk bertanya pada diri kita sendiri, apakah saya benar-benar mengenal Tuhan yang saya imani, atau jangan-jangan, Tuhan yang selama ini saya imani merupakan tuhan yang saya pahami dari ritus atau dogama. Karena jika itu yang ternyata terjadi maka iman kita akan Tuhan sunggu sangat disayangkan.

MENGENAL TUHAN #2
             Ada seorang aktor yang dikenal karena bacaan-bacaan dan hafalannya. Dia selalu mengakhiri penampilannya dengan sebuah pendarasan dramatis Mazmur 23. Setiap malam, tanpa kecuali malam ini, sebagai seorang aktor dia mulai pendarasannya.
            “TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku......”
Orang-orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian dan kemudian tertawa disertai gemuruh tepuk sebagai penghargaan aktor tersebut membuat Mazmur sungguh hidup.
            Suatu malam, ketika dia baru saja akam memulai kebiasaannya mendaraskan Mazmur, seorang pria muda dari tengah penoton mengacungkan tangan dan berbicara, “Pak, apakah boleh malam ini saya diperkenankan untuk mendaraskan Mazmur 23?”
            Sang aktor sangat terkejut atas pertanyaan yang tidak biasa. Meski demkian dia mengajak pria itu ke atas pentas untuk mendaraskan Mazmur; dengan penuh rasa ingin tahu bagaimana kemampuan orang  muda ini melawan talentanya sendiri.
            Dengan perlahan dan penuh penghayatan pria muda ini mulai mendaraskan kata-kata Mazmur, “TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku......”
            Ketika selesai, tak ada tepuk tangan, tak ada yang memberi penghormatan seperti malam-malam sebelumnya. Yang terdengar adalah suara isak tangis! Para audiens begitu tersentuh oleh pendarasan orang muda ini sehingga setiap mata berurai air mata.
            Kagum akan apa yang telah terjadi, Aktor ini kemudian bertanya, “Saya tidak mengerti, saya telah mendaraskan Mazmur 23 ini selama bertahun-tahun, sepenjang hidup saya berlatih dan berlatih, tetapi saya tidak pernah menggerakkan audiens seperti yang anda lakukan malam ini. Katakanlah kepadaku apa rahasiamu?”
            Anak muda ini dengan rendah hati kemudian menjawab, “Baik pak, anda tahu Mazmur....., tetapi aku tahu SANG GEMBALA.”
Kita mungkin bangga manyebut diri sebagai pengikut Kristus yang menghafal dan mengetahui banyak sekali doa, dan memang itu sesuatu yang patut dibanggakan, tetapi apakah kita sudah betul-betul mengenal SANG GEMBALA? atau jangan-jangan pengenalan kita semata-mata hanya melalui pelafalan doa dan dan memberi perhatian terhadap ritus-ritus? 
Pengenalan akan Tuhan sejatinya bukan hanya sekedar kelihatan atau nampak jelas melalui ritus dan pelafalan doa-doa atau dogma yang fasih, tetapi juga harus hidup dari pengalaman dan pengalaman itu seharusnya dihidupi oleh setiap insan yang megaku sebagai hamba Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar