Setiap waktu dan setiap moment kehidupan yang terjadi dan kita alami dalam
hidup ini adalah anugerah dan hadih dari Tuhan, apapun itu, baik atau buruk
merupakan rancangan Tuhan, karena itu tidak kata selain syukur dan terima kasih
yang harus kita panjatkan kepada Dia sang empunya segala sesuatu. Kita bersyukur
dan berterimakasih karena Dia telah memberika banyak pengalaman dan kesempatan
bagi kita dalam kehidupan ini.
Memperingati Pesta St. Agustinus
yang jatuh pada tanggal 28 Agustus 2014, sebagian siswa Seminari San Dominggo
Hokeng bersykur dan bergembira karena
boleh merayakan pesta pelingdung unit I yang merupakan unit dari kelas IX dan
XII. Ada banyak kegiatan yang dilaksanakan untuk menyambut moment bahagia ini
seperti lomba debat dan pertandingan bol kaki dan bola voly. Meski bersifat
perlombaan, namun semuanya dijalankan dalam satu tujuan yang mempererat tali
persaudaraan antara para seminaris.
Berikut ini adalah sedikit riwayat dari St. Agustinus. Semoga riwayat
singkat ini boleh memberi gambaran tentang siapa Agustinus yang sebenarnya dan
semoga kita yang masih berjalan untuk mencapai impian dan cita belajar banyak
dari sikap iman St. Agustinus.
Agustinus dilahirkan pada tanggal 13 November 354 di Tagaste, Algeria,
Afrika Utara. Ayahnya bernama Patrisius, seorang kafir. Ibunya ialah St. Monika, seorang Kristen yang saleh. St. Monika mendidik
ketiga putera-puterinya dalam iman Kristen. Namun demikian, menginjak dewasa
Agustinus mulai berontak dan hidup liar. Pernah suatu ketika ia dan
teman-temannya yang tergabung dalam kelompok “7 Penantang Tagaste” mencuri
buah-buah pir yang siap dipanen milik Pak Tallus, seorang petani miskin, untuk
dilemparkan kepada babi-babi.
Pada umur 29 tahun Agustinus dan Alypius, sahabatnya, pergi ke Italia.
Agustinus menjadi mahaguru terkenal di Milan. Sementara itu, hatinya merasa
gelisah. Sama seperti kebanyakan dari kita di jaman sekarang, ia mencari-cari
sesuatu dalam berbagai aliran kepercayaan untuk mengisi kekosongan jiwanya.
Sembilan tahun lamanya Agustinus menganut aliran Manikisme, yaitu bidaah yang
menolak Allah dan mengutamakan rasionalisme. Tetapi tanpa kehadiran Tuhan dalam
hidupnya, jiwanya itu tetap kosong. Semua buku-buku ilmu pengetahuan telah
dibacanya, tapi ia tidak menemukan kebenaran dan ketentraman jiwa.
Sejak awal tak bosan-bosannya ibunya menyarankan kepada Agustinus untuk
membaca Kitab Suci di mana dapat ditemukan lebih banyak kebijaksanaan dan
kebenaran daripada dalam ilmu pengetahuan. Tetapi, Agustinus meremehkan nasehat
ibunya. Kitab Suci dianggapnya terlalu sederhana dan tidak akan menambah
pengetahuannya sedikit pun.
Pada usia 31 tahun Agustinus mulai tergerak hatinya untuk kembali kepada
Tuhan berkat doa-doa ibunya serta berkat ajaran St. Ambrosius, Uskup kota
Milan. Namun demikian ia belum bersedia dibaptis karena belum siap untuk
mengubah sikap hidupnya. Suatu hari, ia mendengar tentang dua orang yang
serta-merta bertobat setelah membaca riwayat hidup St. Antonius Pertapa. Agustinus merasa malu. “Apa ini
yang kita lakukan?” teriaknya kepada Alypius. “Orang-orang yang tak terpelajar
memilih surga dengan berani. Tetapi kita, dengan segala ilmu pengetahuan kita,
demikian pengecut sehingga terus hidup bergelimang dosa!” Dengan hati yang
sedih, Agustinus pergi ke taman dan berdoa, “Berapa lama lagi, ya Tuhan?
Mengapa aku tidak mengakhiri perbuatan dosaku sekarang?” Sekonyong-konyong ia
mendengar seorang anak menyanyi, “Ambillah dan bacalah!” Agustinus mengambil
Kitab Suci dan membukanya tepat pada ayat, “Marilah kita hidup dengan sopan
seperti pada siang hari… kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan
senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.”
(Roma 13:13-14). Ini dia! Sejak saat itu, Agustinus memulai hidup baru.
Pada tanggal 24 April 387 Agustinus dipermandikan oleh Uskup Ambrosius. Ia
memutuskan untuk mengabdikan diri pada Tuhan dan dengan beberapa teman dan
saudara hidup bersama dalam doa dan meditasi. Pada tahun 388, setelah ibunya
wafat, Agustinus tiba kembali di Afrika. Ia menjual segala harta miliknya dan
membagi-bagikannya kepada mereka yang miskin papa. Ia sendiri mendirikan sebuah
komunitas religius. Atas desakan Uskup Valerius dan umat, maka Agustinus
bersedia menjadi imam. Empat tahun kemudian Agutinus diangkat menjadi Uskup
kota Hippo.
Semasa hidupnya Agustinus adalah seorang pengkhotbah yang ulung. Banyak
orang tak percaya kembali ke gereja Katolik sementara orang-orang Katolik
semakin diperteguh imannya. Agustinus menulis surat-surat, khotbah-khotbah
serta buku-buku dan mendirikan biara di Hippo untuk mendidik biarawan-biarawan agar
dapat mewartakan injil ke daerah-daerah lain, bahkan ke luar negeri. Gereja
Katolik di Afrika mulai tumbuh dan berkembang pesat.
Di dinding kamarnya, terdapat kalimat berikut yang ditulis dengan
huruf-huruf yang besar: “Di sini kami tidak membicarakan yang buruk tentang
siapa pun.” “Terlambat aku mencintai-Mu, Tuhan,” serunya kepada Tuhan suatu
ketika. Agustinus menghabiskan sisa hidupnya untuk mencintai Tuhan dan membawa
orang-orang lain untuk juga mencintai-Nya.
Agustinus wafat pada tanggal 28 Agustus 430 di Hippo dalam usia 76 tahun.
Makamnya terletak di Basilik Santo Petrus. Kumpulan surat, khotbah serta
tulisan-tulisannya adalah warisan Gereja yang amat berharga. Di antara ratusan
buku karangannya, yang paling terkenal ialah “Pengakuan-Pengakuan”
(di Indonesia diterbitkan bersama oleh Penerbit Kanisius dan BPK Gunung Mulia)
dan “Kota Tuhan”. Santo Agustinus dikenang sebagai Uskup dan Pujangga Gereja
serta dijadikan Santo pelindung para seminaris. Pestanya dirayakan setiap
tanggal 28 Agustus.
Jadi tidak peduli berapa jauh kita menyimpang dari Tuhan, Ia selalu siap
untuk membawa kita kembali. Sama seperti Agustinus, seorang kafir yang dipanggil
menjadi seorang Uskup, kita pun juga dapat bertumbuh dalam kasih dan kuasa
Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar