Kamis, 28 Agustus 2014

Pesta Unit St. Agustinus Seminari San Dominggo Hokeng



Setiap waktu dan setiap moment kehidupan yang terjadi dan kita alami dalam hidup ini adalah anugerah dan hadih dari Tuhan, apapun itu, baik atau buruk merupakan rancangan Tuhan, karena itu tidak kata selain syukur dan terima kasih yang harus kita panjatkan kepada Dia sang empunya segala sesuatu. Kita bersyukur dan berterimakasih karena Dia telah memberika banyak pengalaman dan kesempatan bagi kita dalam kehidupan ini.

Memperingati Pesta  St. Agustinus yang jatuh pada tanggal 28 Agustus 2014, sebagian siswa Seminari San Dominggo Hokeng bersykur dan  bergembira karena boleh merayakan pesta pelingdung unit I yang merupakan unit dari kelas IX dan XII. Ada banyak kegiatan yang dilaksanakan untuk menyambut moment bahagia ini seperti lomba debat dan pertandingan bol kaki dan bola voly. Meski bersifat perlombaan, namun semuanya dijalankan dalam satu tujuan yang mempererat tali persaudaraan antara para seminaris.

Berikut ini adalah sedikit riwayat dari St. Agustinus. Semoga riwayat singkat ini boleh memberi gambaran tentang siapa Agustinus yang sebenarnya dan semoga kita yang masih berjalan untuk mencapai impian dan cita belajar banyak dari sikap iman St. Agustinus.

Agustinus dilahirkan pada tanggal 13 November 354 di Tagaste, Algeria, Afrika Utara. Ayahnya bernama Patrisius, seorang kafir. Ibunya ialah St. Monika, seorang Kristen yang saleh. St. Monika mendidik ketiga putera-puterinya dalam iman Kristen. Namun demikian, menginjak dewasa Agustinus mulai berontak dan hidup liar. Pernah suatu ketika ia dan teman-temannya yang tergabung dalam kelompok “7 Penantang Tagaste” mencuri buah-buah pir yang siap dipanen milik Pak Tallus, seorang petani miskin, untuk dilemparkan kepada babi-babi.

Pada umur 29 tahun Agustinus dan Alypius, sahabatnya, pergi ke Italia. Agustinus menjadi mahaguru terkenal di Milan. Sementara itu, hatinya merasa gelisah. Sama seperti kebanyakan dari kita di jaman sekarang, ia mencari-cari sesuatu dalam berbagai aliran kepercayaan untuk mengisi kekosongan jiwanya. Sembilan tahun lamanya Agustinus menganut aliran Manikisme, yaitu bidaah yang menolak Allah dan mengutamakan rasionalisme. Tetapi tanpa kehadiran Tuhan dalam hidupnya, jiwanya itu tetap kosong. Semua buku-buku ilmu pengetahuan telah dibacanya, tapi ia tidak menemukan kebenaran dan ketentraman jiwa.

Sejak awal tak bosan-bosannya ibunya menyarankan kepada Agustinus untuk membaca Kitab Suci di mana dapat ditemukan lebih banyak kebijaksanaan dan kebenaran daripada dalam ilmu pengetahuan. Tetapi, Agustinus meremehkan nasehat ibunya. Kitab Suci dianggapnya terlalu sederhana dan tidak akan menambah pengetahuannya sedikit pun.

Pada usia 31 tahun Agustinus mulai tergerak hatinya untuk kembali kepada Tuhan berkat doa-doa ibunya serta berkat ajaran St. Ambrosius, Uskup kota Milan. Namun demikian ia belum bersedia dibaptis karena belum siap untuk mengubah sikap hidupnya. Suatu hari, ia mendengar tentang dua orang yang serta-merta bertobat setelah membaca riwayat hidup St. Antonius Pertapa. Agustinus merasa malu. “Apa ini yang kita lakukan?” teriaknya kepada Alypius. “Orang-orang yang tak terpelajar memilih surga dengan berani. Tetapi kita, dengan segala ilmu pengetahuan kita, demikian pengecut sehingga terus hidup bergelimang dosa!” Dengan hati yang sedih, Agustinus pergi ke taman dan berdoa, “Berapa lama lagi, ya Tuhan? Mengapa aku tidak mengakhiri perbuatan dosaku sekarang?” Sekonyong-konyong ia mendengar seorang anak menyanyi, “Ambillah dan bacalah!” Agustinus mengambil Kitab Suci dan membukanya tepat pada ayat, “Marilah kita hidup dengan sopan seperti pada siang hari… kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” (Roma 13:13-14). Ini dia! Sejak saat itu, Agustinus memulai hidup baru.

Pada tanggal 24 April 387 Agustinus dipermandikan oleh Uskup Ambrosius. Ia memutuskan untuk mengabdikan diri pada Tuhan dan dengan beberapa teman dan saudara hidup bersama dalam doa dan meditasi. Pada tahun 388, setelah ibunya wafat, Agustinus tiba kembali di Afrika. Ia menjual segala harta miliknya dan membagi-bagikannya kepada mereka yang miskin papa. Ia sendiri mendirikan sebuah komunitas religius. Atas desakan Uskup Valerius dan umat, maka Agustinus bersedia menjadi imam. Empat tahun kemudian Agutinus diangkat menjadi Uskup kota Hippo.

Semasa hidupnya Agustinus adalah seorang pengkhotbah yang ulung. Banyak orang tak percaya kembali ke gereja Katolik sementara orang-orang Katolik semakin diperteguh imannya. Agustinus menulis surat-surat, khotbah-khotbah serta buku-buku dan mendirikan biara di Hippo untuk mendidik biarawan-biarawan agar dapat mewartakan injil ke daerah-daerah lain, bahkan ke luar negeri. Gereja Katolik di Afrika mulai tumbuh dan berkembang pesat.

Di dinding kamarnya, terdapat kalimat berikut yang ditulis dengan huruf-huruf yang besar: “Di sini kami tidak membicarakan yang buruk tentang siapa pun.” “Terlambat aku mencintai-Mu, Tuhan,” serunya kepada Tuhan suatu ketika. Agustinus menghabiskan sisa hidupnya untuk mencintai Tuhan dan membawa orang-orang lain untuk juga mencintai-Nya.

Agustinus wafat pada tanggal 28 Agustus 430 di Hippo dalam usia 76 tahun. Makamnya terletak di Basilik Santo Petrus. Kumpulan surat, khotbah serta tulisan-tulisannya adalah warisan Gereja yang amat berharga. Di antara ratusan buku karangannya, yang paling terkenal ialah   “Pengakuan-Pengakuan” (di Indonesia diterbitkan bersama oleh Penerbit Kanisius dan BPK Gunung Mulia) dan “Kota Tuhan”. Santo Agustinus dikenang sebagai Uskup dan Pujangga Gereja serta dijadikan Santo pelindung para seminaris. Pestanya dirayakan setiap tanggal 28 Agustus.

Jadi tidak peduli berapa jauh kita menyimpang dari Tuhan, Ia selalu siap untuk membawa kita kembali. Sama seperti Agustinus, seorang kafir yang dipanggil menjadi seorang Uskup, kita pun juga dapat bertumbuh dalam kasih dan kuasa Tuhan.

SEMINARI MENENGAH SAN DOMINGGO - HOKENG KEUSKUPAN LARANTUKA



  

Para Formator, Guru dan Pegawai Sesado 2014/2015

Seminari San Dominggo Hokeng adalah lembaga pendidikan yang dikhususkan bagi para calon imam, lembaga yang pada tangal 15 Agustus 2014 merayakan hari ulang tahunnya yang ke-64 ini terletak di kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, NTT. Dalam usianya yang ke-64, lembaga ini sudah banyak menghasilkan orang-orang yang luar biasa yang tidak saja meniti jalan dengan berkarya sebagai bruder dan imam tetapi juga berkarya sebagai awam-awam handal yang dengan panggilannya masing-masing bekerja dengan sangat baik di tengah masyarakat.
          Seminari yang bertempat di lembah Hokeng di bawa kaki gunung Lewotobi ini pertama kali diresmikan pada tanggal 15 Agustus 1950. Seperti seminari lainnya, tujuannya adalah mendidik calon imam pribumi yang beriman dan bermutu. Seminari ini merupakan seminari kedua di daratan Flores setelah Seminari Yohanes Berchmans Mataloko, Bajawa. Seminari Yohanes Berchmans sendiri pada awalnya dibuka di Sikka-Maumere pada tanggal 20 Februari 1926, baru kemudian berpindah ka Mataloko kabupaten Ngada pada bulan September 1929.
          Pendirian seminari San Dominggo Hokeng merupakan pemikiran awal dan prakarsa P.G van Velzen, SVD, Provikaris Vikariat Apostolik Kepaluan Sunda kecil  dan P. A. van der Burg, SVD, Deken Larantuka saat itu. Keduanya mewakili Mgr. Henricus Leven, Pimpinan Gereja Lokal yang saat itu sedang berlibur ke Eropa. Seminari yang baru didirkan ini diserahakan ke dalam perlidungan Santo Dominikus dan diberi nama: SEMINARI SAN DOMINGGO. Adapun nama San Dominggo bertujuan untuk mengenang imam-imam Ordo Dominikan yang pertama kali melaksanakan karya misi di Larantuka-Flores Timur.
          Serah terima Seminari dari SVD ke Projo terjadi pada tanggal  Juni 1996 yang ditandai dengan surat keputusan dari Provinsial Ende. Tertanggal 7 Juni 1996. Isinya adalah membubarkan rektorat SVD di Seminari Hokeng dan bergabung menjadi anggota SVD distrik Larantuka. Surat keputusan ini menandai bahwa tidak ada lagi rektor di Seminari. Hal ini juga dikuatkan dengan Surat keputusan Bapak Uskup Larantuka tentang pembentukan Dewan seminari yang  baru dikeluarkan pada tanggal 20 Juli 1996. Adapun Praeses pertama adalah P. Paulus Boli Lamak, SVD. Meski kini adalah milik Keuskupan namun tidak berarti imam-imam SVD tidak lagi melayani di lembaga ini, saat ini ada empat orang imam dan dua frater SVD yang berkarya di Seminari ini.
          Berikut ini adalah data singkat Seminari San Dominggo Hokeng beserta visi dan misi yang ingin dicapai oleh lembaga ini.

I. DATA UMUM
a.
Nama lengkap Seminari
:
Seminari Menengah San Dominggo
b.
Alamat lengkap Seminari 
:
Hokeng, Larantuka 86253 FLOTIM - NTT - INDONESIA.
c.
Telepon
:
(0383) 21170,21173; (Keuskupan)
d.
Fax
:
(0383) 21443. (Keuskupan)
e.
Status Seminari
:
Milik keuskupan Larantuka
f.
Tingkatan sekolah seminaris
:
SMA (Gabung dengan sekolah)




II. DATA ORGANISASI DAN PERSONALIA
1.        Staf dan situasi khusus seminari.
a.
Nama Lengkap Praeses
:
Rm. Syprianus Sande, Pr
b. 
Jumlah tenaga Pembina
:

10 orang Imam yang terdiri dari 6 imam Projo dan 4 imam SVD dan 5 orang Frater (2 Projo, 2 SVD dan 1 CSsR).

2.      Data Siswa :
a. Jumlah siswa tahun ajaran : 2014-2015
KPB
:
76 siswa
Kelas I
:
96 siswa
Kelas II
:
67 siswa
Kelas III
:
54 siswa
KPA
:
-
Total
:
293 Siswa

III. Visi dan Misi
 Visi  :Calon imam yang Beriman, Berilmu clan Berkepribadian.
Misi :Mendidik calon imam yang Beriman, Berilmu dan Berkepribadian. Berdasarkan visi dan misi ini,     pembinaan dan pendidikan di seminari Hokeng bertujuan:
1.  Mendidik/membina seminaris supaya, pertama-tama menjadi orang yang beriman kristiani yang teguh, kuat dan tak tergoyahkan, apa pun terjadi. Tujuan ini menjawab S yang pertama dari 5 S yang merupakan sasaran pembinaan di Seminari San Dominggo Hokeng, yakni Sanctitas atau kesalehan.
2.  Mendidik/membina seminaris untuk menjadi orang yang berilmu (Scientia atau kecerdasan intelektual).
3.  Mendidik/membina seminaris untuk menjadi orang yang sehat rohani dan jasmani. (Sanitas atau kesehatan).
4.  Mendidik dan membina seminaris untuk menjadi manusia yang memiliki watak dan kepribadian yang mantap. Manusia yang memiliki watak dan kepribadian yang matang terungkap dalam tindakan/perbuatan yang bermoral Kristiani di dalam hidup bermasyarakat (Sapientia atau kebijaksanaan).
5. Mendidik/membina seminari agar memiliki rasa kesetiakawanan  sosial dengan sesama, masyarakat dalam suka dan duka, terutama mereka yang terlupakan dan disingkirkan (Solidaritas atau kesetiakawanan).
             Jadi idealnya calon imam dibina/dididik ke arah watak-kepribadian yang memiliki 5 S yang mencirikan kepribadian Kristus sendiri dan mengambil bagian dalam tiga tugas Yesus sebagai imam, nabi dan raja; di mana Kristus adalah sumber inspirasi dan panutan hidupnya.
            Jika anda memilik panggilan untuk menjadi satu dari sekian banyak orang yang bekerja di ladang Tuhan bergabunglah bersama kami,,,,,,